Gambar 1. Ilustrasi Kesehatan Mental yang Bermasalah
Sumber: (iStock Photo, 2022)
(20/09/2022) - Siapa yang tak mengenal pulau yang satu ini? Dijuluki sebagai Pulau Surga, Bali sangat terkenal di mata dunia karena keunikan budayanya dan keindahan alamnya. Kerap dipenuhi dengan hiruk-pikuk dan hingar-bingar aktivitas masyarakatnya, Bali menyimpan satu permasalahan krusial yang rupanya masih sering diabaikan. Permasalahan tersebut tak lain dan tak bukan adalah permasalahan kesehatan mental yang senantiasa mengintai dan menyerang warganya, termasuk bunuh diri. Melansir berita dari Tribun News Bali, per Mei 2022, ditemukan setidaknya ada 6 kasus bunuh diri yang sudah terjadi. I Gusti Rai Putra Wiguna, SpKJ., seorang psikiater asal Bali, mengakui bahwa kasus bunuh diri mengalami peningkatan yang cukup tajam. “Ini tren yang sudah ada sejak tahun lalu ya. Jadi pada tahun lalu total ada 124 kasus bunuh diri di Bali. Jumlah tersebut mengalami peningkatan yang hampir mencapai dua kali lipat dari tahun sebelumnya.”
Selain itu, prevalensi depresi yang diperoleh melalui survey kepada masyarakat yang berumur 15 (lima belas) tahun ke atas, Provinsi Bali memperoleh peningkatan skor yang cukup tinggi, dari yang sebelumnya memiliki skor 5 pada tahun 2013 naik menjadi skor 9 di tahun 2018.
Gambar 2. Prevalensi Gangguan Mental Emosional pada Penduduk Berumur Lebih Dari 15 Tahun Menurut Provinsi pada Tahun 2013-2018
Sumber: (Kementerian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2018)
Kesenjangan ekonomi yang sulit diatasi
Permasalah ekonomi dan pemenuhan hidup masih memperoleh tempat pertama sebagai faktor yang menyebabkan orang depresi kemudian memilih bunuh diri. Bagaimana tidak? Meski menjadi salah satu destinasi favorit untuk kegiatan pariwisata, UMK di beberapa wilayah rupanya masih cukup kecil. Mengutip pernyataan yang dikeluarkan oleh Wakil Gubernur Bali, Tjorkorda Oka Artha Ardana Sukawati kepada Bisnis Indonesia Bali, pembangunan ekonomi Bali sendiri memang memiliki ketimpangan, baik dari sisi wilayahnya maupun dari sektor-sektor penyumbang Produk Domestik Regional Bruto.
Selain permasalahan ekonomi, beberapa faktor lain juga turut menyumbang tingginya kasus bunuh diri di Bali. Menurut Rai, beberapa faktor tersebut terdiri dari kurangnya pemahaman tanda gejala bunuh diri, stigma pengobatan masalah kesehatan jiwa, kerekatan dan interaksi sosial yang menurun dalam keluarga, angka penyalahgunaan NAPZA yang tinggi, pendekatan layanan kesehatan kronis dan lansia yang terlalu berfokus pada kesehatan fisik semata dan mengabaikan layanan kesehatan mental.
Pemerintah yang Pasif
Meski demikian, upaya pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut nampaknya masih belum cukup mumpuni. Rai Wiguna menyayangkan kegagalan pemerintah dalam mengakomodai kesehatan mental warganya. Bagi Rai, upaya menjaga kesehatan mental seseorang sebenarnya tidak sulit dilakukan, asal berbagai pihak mampu menjalankan perannya masing-masing dengan kompak, entah itu pemerintah, masyarakat, mahasiswa, kelompok khusus, dan lain sebagainya. Ada beberapa hal yang menurutnya dapat dilaksanakan untuk menciptakan sinergi yang baik dalam mencapai taraf kesehatan mental yang berkualitas baik.
“Membuka saluran cegah bunuh diri yang terhubung selama 24 jam, menyediakan psikolog dan layanan konseling di tiap puskesmas, psikiater di tiap RSUD lengkap dengan ruang rawat inap Psikiatri, menjalankan program jiwa di puskesmas dengan baik, membentuk kelompok SWA yang dapat membantu remaja untuk menjaga kesehatan jiwa, juga menjalankan program jiwa pada kelompok lansia dikarenakan lansia juga termasuk ke dalam kelompk rentan depresi selain remaja dan disabilitas.”
Fenomena Iceberg
Seturut perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, isu mengenai kesehatan mental memang gencar dibicarakan dan didengungkan. Berbagai aksi dan kampanye juga sudah masih dilaksanakan. Namun, menurut Riskesdas, per tahun 2018, hanya terdapat 9% orang yang berani pergi ke psikiater/layanan kejiwaan dan memperoleh pengobatan yang semestinya.
Gambar 3. Ilustrasi Gunung Es
Sumber: (iStock Photo, 2017)
Rai Wiguna menyampaikan bahwa fenomena ini sudah cukup biasa dalam dunia kesehatan. Fenomena ini disebut sebagai fenomena Iceberg alias gunung es, di mana ukuran gunung es dipermukaan memiliki perbedaan yang signifikan hingga 2x lipat dibandingkan dengan ukuran gunung es di bawah permukaan laut. Singkatnya, banyak sekali penderita gangguang mental yang belum mendapatkan pengobatakan layak yang sesuai dengan standar.
Sudah menjadi kewajiban kita bersama bahwa gangguan mental itu benar adanya dan dapat mengancam siapapun, tak terbatas gender, usia, pekerjaan, dan status sosialnya. Selain mengadakan edukasi dan sosialiasi mengenai kesehatan mental, pendeteksian adanya gejala gangguan mental juga perlu dilakukan sedini dan semasif mungkin. (RV).
Comments
Post a Comment