Skip to main content

School of Life #1: Bersyukur

 Bersyukur, satu kata yang tentunya sering kita dengar bukan, Teman Cerita? Namun, sudahkah kamu benar-benar bersyukur hari ini?


Rasanya, penjelasan mengenai arti bersyukur sudah banyak sekali bertebaran, entah di buku, sosial media, maupun penjelasan-penjelasan agamawi. Sayangnya, masih banyak orang yang terjerumus dalam penerapan rasa syukur yang salah, lho. Salah? Kok, bisa? Bersyukur kan, merupakan tindakan positif, kenapa bisa salah?


Eits, jangan keliru, yang salah itu bukan aktivitas rasa bersyukur itu sendiri, Teman Cerita, melainkan penerapannya. Kamu pasti sudah tidak asing dengan kalimat-kalimat ini, deh:


Kalimat 1: “Dibawa bersyukur aja, toh, banyak yang lebih susah dari kita.”

Kalimat 2: “Aku mau bersyukur, asal keinginan A, B, C, D-ku, tercapai.”

Kalimat 3: “Gitu aja kok sedih, coba deh syukur-in apa yang ada.”


Hayo, mana dari ketiga kalimat di atas yang pernah atau bahkan masih kamu lakukan? Kalau semuanya pernah, waduh, kamu harus crosscheck lagi nih, Teman Jujur. Kalimat 1, memang meski terdengar benar, namun pada kenyataannya masih salah, loh. Penerapan kalimat 1 secara terus menerus akan membentuk mindset kita bahwa untuk bisa bersyukur, harus ada orang lain yang lebih susah dari kita. Kalau ngga, apakah tidak atau kesulitan untuk bersyukur? Lagipula, mindset seperti ini merupakan toxic mindset yang harus kamu buang jauh-jauh, Teman Cerita. Sebab, tanpa kamu dasari, kamu akan lebih bahagia apabila ada orang yang sedang kesusahan. Apa yang akan terjadi kalau ada orang lain yang lebih dari kamu? Entah itu lebih sukses, lebih bahagia, lebih kaya, lebih ini dan itu. Jadinya, susah untuk bersyukur, bukan, sebab nggak ada perbandingan lain yang ada di bawah kamu?


Kalimat 2, oke sih, ngga nyenggol tetangga sebelah. Akan tetapi, kamu akan kesulitan untuk bersyukur apabila keinginanmu tidak tercapai. Serupa tapi tak sama. Di kalimat 1, kamu bisa beryukur kalau ada orang yang posisinya lebih rendah dari kamu. Kalau di kalimat 2, kamu bisa bersyukur kalau kamu baru menerima pencapaian-pencapaian yang signifikan. Ingat, bersyukur harus dilakukan dalam kondisi apapun, entah saat kamu sedang di atas dan sedang berada dalam puncak kejayaan dan saat kamu berada di bawah, dalam titik terpurukmu. Tak peduli besar kecilnya suatu pencapaian yang kamu peroleh, kamu harus tetap mensyukuri keduanya. Hal tersebut akan menghasilkan perasaan syukur yang tulus dan berasal dari hati.


Oke, move ke kalimat 3. Ada yang tahu kenapa bentuk ucapan syukur ini salah dan malah menjurus dalam toxic positivity? Yup, betul. Penerapan ucapan syukur yang ada dalam kalimat 3 menciptakan situasi di mana orang yang mengatakan hal tersebut tidak memvalidasi perasaan orang lain. Terlihat sepele memang, akan tetapi, bagi orang yang dalam keadaan yang baik-baik saja, hal tersebut termasuk hal yang kejam, lho. Usahakan, ketika ada seseorang yang sedang kesusahan dan curhat denganmu, cobalah untuk tidak menceramahi dia dahulu. 


Ketika dia menceritakan masalahnya kepadamu, coba tanyakan terlebih dahulu apakah ia hanya ingin didengar atau diberi masukan? Atau bahkan keduanya? Dan kalaupun ia ingin diberi masukan, pastikan kamu memvalidasi perasaaanya terlebih dahulu kemudian berikat ucapan hangat yang menenangkan. Daripada menyalahkan dan menyuruh temanmu untuk bersyukur, bukankah lebih baik jika kamu bisa ada bersamanya dan memberikan dukungan emosional?


Jadi, sudah belajar apa hari ini, Teman Cerita?


Comments