Mass shooting yang terjadi di Subway - kereta bawah tanah - , Brooklyn pada Selasa, 12 April 2022 yang lalu sempat menghebohkan masyarakat New York bahkan dunia. Di tengah pandemi yang mulai membaik, masyarakat sedang berusaha menata kehidupannya kembali setelah digempur oleh Covid-19 selama dua tahun lebih. Mass shooting sendiri adalah penembakan kepada 4 orang atau lebih di lokasi yang berdekatan tanpa harus ada atau terjadinya korban jiwa.
Dalam peristiwa tersebut, setidaknya terdapat 10 orang yang mengalami luka tembak dan 19 orang lainnya luka-luka. Jaclyn Schildkraut, seorang professor criminal justice di State University of New York di Oswego, yang mempelajari tentang penembakan massal atau mass shooting, mengatakan pada The New York Times bahwa ‘In a mass shooting, there is a lot of attention focused on people who are killed or who are injured, and rightfully so,’ ia juga menambahkan bahwa ‘But you had a train full of people who may not have been physically injured but who are going to bear traumatic injuries, and you have an entire city that is part of a bustling metropolis, that is now questioning their safety.’
Seperti yang dikatakan oleh Jaclyn Schildkraut, kita tak hanya harus memfokuskan perhatian kita kepada korban luka atau yang terbunuh, tetapi kita juga harus memikirkan bagaimana orang-orang lain yang terluka secara psikisnya karena trauma. Trauma ini tak hanya dialami oleh orang-orang yang secara langsung berada di dalam kereta tersebut, tetapi bahkan yang berada di stasiun tersebut, yang setiap harinya menggunakan stasiun tersebut, bahkan masyarakat umum di tempat lain pun mungkin akan mengalami trauma seperti misalnya dengan keramaian.
Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh peristiwa menakutkan (traumatic events) - baik mengalaminya atau menyaksikannya. Gejala yang timbul ketika seseorang mengalami PTSD adalah kilas balik, mimpi buruk dan kecemasan parah, serta pikiran tak terkendali tentang peristiwa tersebut. PTSD ini dapat menjadi sebab dan sekaligus akibat dari suatu peristiwa. Dalam kasus ini pelaku penembakan, Frank James (62), mengatakan bahwa dirinya mengalami gangguan kesehatan mental yang disebabkan oleh kematian ibunya pada saat dirinya berusia 5 tahun, serta pengalaman-pengalaman buruk karena rasisme, kemiskinan, dan tunawisma. Ia mengatakan bahwa pemerintah meninggalkannya (dan orang-orang tunawisma lain) dan apa yang dilakukannya merupakan hasil dari trauma dengan sistem yang menolak mendengar teriakan permintaan tolongnya. Sayangnya perasaan terisolasi dan putus asa yang dialaminya mengakibatkan trauma yang diberikannya kepada masyarakat. (RANL)
Comments
Post a Comment